Filkumania Austin: October 2010

Monday, October 4, 2010

Jurnal 7

Topik : Positivisme dan Intuisionisme
Tanggal : 17 September 2010

Substansi :
Terdapat aliran berpikir lainnya dalam sistematika filsafat berupa epistimologi, yakni aliran berpikir positivisme dan aliran berpikir intuisionisme.

Postivisme
Pada zaman modern, antara empirisme dengan rasionalisme bersilogisme bergabung menjadi positivisme. Pertama kali muncul di Wina, dimana terdapat suatu kelompok yang menamakan diri sebagai Winer Kries yang merupakan suatu kelompok ahli bermacam-macam ilmu yang rutin bertemu kemudian membentuk suatu positif logis atau yang dikenal dengan logical positivism  dengan tujuan penyatuan ilmu (unified science).
                Adalah Auguste Comte (1798-1857) yang mengemukakan mengenai positivisme yang terangkum dalam sebuah buku , yakni Le Cours de Philosophie Positivistic. Comte kemudian membagi hukum menjadi tiga tahap, yakni tahap Teologis (fiktif), tahap Metafisis (Abstrak), dan tahap Positivis (Riil).
            Pada tahap Teologis yang dilihat dari sudut pandang abad ke-19, kedudukan manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma serta nilai manusia didasarkan pada perintah Tuhan. Sedangkan untuk tahap Metafisis, tidak lagi dikenal adanya konsep Tuhan, melainkan suatu entitas abstrak yang metafisis yang diintegrasikan dengan alam. Tahapan terakhir, yakni Positivis, manusia tidak lagi menjelaskan tentang sebab-sebab yang diluar fakta, melainkan hanya memusatkan pada hal-hal yang terjadi pada saat itu yang kemudian bekerja menurut hukum-hukum pada umumnya, contohnya hukum gravitasi.
                Dari tahap Positivis ini kemudian berkembanglah Positivisme Logis yang berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti alur yang sama dengan sains, dimana filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
            Adapun 5 asumsi dasar dari Positivisme adalah
1.     Logiko Empirisme
Dikenal dengan sebutan Teori Korespondensi, dimana kebenaran hanya akan didapatkan jika telah dilakukan suatu pembuktian dengan suatu penelitian yang kemudian sesuai dengan kenyataanya.
2.     Realitas Objektif
Merupakan suatu realitas saja tanpa adanya subyek-subyek yang dapat diinterpretasikan.
3.     Reduksionalisme
Dimana suatu obyek dapat diamati dalam suatu satuan kecil.
4.     Determinisme
Jika terdapat suatu keteraturan, maka manusia dapat dikendalikan. Dimana keteraturan dunia itu tercipta karena adanya kausalitas yang linear. Seperti yang diyakini Newton bahwa alam semesta bekerja dalam satu keteraturan layaknya sebuah mesin waktu.
5.     Asumsi Bebas Nilai
Dimana ilmu merupakan suatu yang bebas nilai Karen atidak adanya tempat bagi subyektivitas sehingga nilai-nilai menjadi tidak relevan.

Intuisionisme
Intuisionisme lahir dari seorang Henry Bergson (1859-1941) yang menyatakan bahwa intuisi merupakan filsafat hidup. Intuisi itu sendiri adalah naluri yang tidak terpengaruh yang mampu merenungkan objeknya serta diperluas tanpa batasan yang pasti.


Selain Bergson, terdapat pula Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal dengan ajaran berupa intuisi fenomenologis. Husserl beranggapan bahwa fenomena atau gejala hanya mungkin ditangkap dengan adanya intuisi tanpa melalui tahapan penyimpulan yang inferensial.  Agar intuisi dapat menangkap hakikat dari obyek-obyek tersebut maka diperlukan tiga reduksi, yakni
1.       Reduksi fenomenologis. Dalam reduksi ini, perlu kita singkirkan segala sesuatu yang subyektif, karena apa yan merupakan hakikat ditentukan oleh obyek itu sendiri.
2.       Reduksi eiditis. Dimana kita perlu mengesampingkan pengetahuan yang terlanjur ada mengenai suatu obyek, termasuk didalamnya adalah hipotesis, agar kita dapat langsung mencapai pada intinya.
3.       Reduksi transeden. Dalam reduksi ini, kita kemudian mengesampingkan seluruh tradisi mengenai pengetahuan.
Husserl juga berpendapat bahwa untuk mengetahui sesuatu yang nyata, perlu dialami terlebih dahulu. Ia juga menyatakan bahwa ilmu modern sekarang terlalu menyederhanakan kenyataan, bahkan mereduksinya menjadi suatu simbol.

Refleksi :
Penuturan mengenai positivisme muncul pertama kali oleh Auguste Comte dalam bukunya yang berjudul  Le Cours de Philosophie Positivistic dan  kemudian membagi hukum menjadi tiga tahap, yakni tahap Teologis (fiktif), tahap Metafisis (Abstrak), dan tahap Positivis (Riil). Kemudian berkembanglah suatu aliran berpikir, yakni Positivisme Logis yang berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti alur yang sama dengan sains, dimana filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Sehingga berkembang 5 asumsi dasar dari Positivisme adalah Logiko Empirisme, Realitas Obyektif, Reduksionalisme, Determinisme, dan Asumsi Bebas Nilai.
Intuisionisme merupakan suatu aliran berpikir yang didasarkan pada intuisi manusia. Berkembang oleh beberapa tokoh, yakni Henry Bergson dan Edmund Husserl. Bergson beranggapan bahwa intuisi merupakan naluri yang tak terpengaruh yang kemudian mampu merenungkan obyeknya serta diperluas tanpa batas. Sedangkan menurut Husserl, dikenal adanya Intuisi Fenomenologis dimana suatu fenomena atau gejala hanya mungkin ditangkap dengan intuisi tanpa adanya tahap-tahap penyimpulan inferensial.


Diskusi :
Apakah aliran berpikir positivisme dan intuisionisme dapat diterapkan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia saat ini?
           


Friday, October 1, 2010

Jurnal 6

Topik : Rasionalisme dan Empirisme
Tanggal : 15 September 2010


Substansi
Rasionalisme dan empirisme adalah contoh dari aliran utama epistemologi.


Rasionalisme
Pelopor untuk aliran rasionalisme adalah René Descartes (1596-1650)



pernyataannya yang terkenal adalah cogito ergo sum.. yang dalam bahasa Inggris berarti i think, therefore i exist.. arti dalam bahasa Indonesianya adalah "Aku Berpikir maka Aku Ada".
maksud dari pernyataannya ini adalah keberadaan manusia baru ada ketika manusia berpikir, jadi bagaimana jika manusia berhenti berpikir? jika manusia berhenti berpikir maka manusia tidak ada lagi.
dalam aliran ini, rasio merupakan hal yang sangat penting.


Empirisme
pelopor aliran empirisme adalah John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776)


*gambar dari kiri ke kanan : John Locke, George Berkeley, David Hume*
Empirisme memiliki keyakinan bahwa ketika manusia lahir tidak memiliki pengetahuan, jadi manusia seperti kertas kosong. sumber pengetahuan adalah pengalaman manusia, melalui observasi inderawi.
John Locke
Dua pertanyaan besar Locke adalah :
  1. Dari mana kita mendapat pengetahuan kita?
  2. Apakah kita dapat mempercayai hasil pengamatan indera kita?
  1. Tak ada ide bawaan! Tabula rasa. pengalaman itulah apa yang direfleksikan menjadi ide -> pengetahuan sederhana.
  2. Apa yang didapat dari indera itu, tidak ditanggapi pasif oleh rasio. rasio mengolahnya -> pengetahuan kompleks.
George Berkeley
pengalaman bukan mempersepsikan fisik benda, tetapi persepsi tentang sifat (kualitas)-nya saja. jadi, tak ada kualitas primer, yang ada kualitas sekunder saja!
jadi, yang penting dari empiri hanya terkait dengan kualitas sekunder itu.


David Hume
ada 2 jenis persepsi manusia :
kesan    = persepsi inderawi (dengan kesadaran tinggi)
gagasan = ingatan atas persepsi itu


gagasan & kesan terdiri dari :
  1. gagasan sederhana (tunggal), muncul dari kesan sederhana, langsung terkait dengan satu konsep tertentu
  2. gagasan kompleks, muncul dari kesan kompleks. tak terkait langsung pada satu konsep, tetapi bisa dipecah menjadi banyak gagasan sederhana.
jika ada kesan, tak ada gagasan.
jika ada gagasan tanpa kesan, gagasan itu tanpa makna


Refleksi
jika diperhatikan, rasionalisme hanya menitikberatkan segala pemikirannya pada rasio manusia saja, padahal dalam hidup ada juga sesuatu yang jarang terjadi seperti intuisi. memang rasio sangat berguna dalam kehidupan manusia, akan tetapi kenyataannya manusia tidak mungkin dapat hidup jika hanya mengandalkan rasio saja, karena itu akan membuat manusia seperti mahluk yang tidak memiliki perasaan. perasaan adalah sesuatu yang tidak pasti, bahkan kadang sulit untuk dideskripsikan.
jika diperhatikan, empirisme hanya memfokuskan pada pengalaman inderawi saja, lalu bagaimana dengan intuisi? selain itu, jika hanya mengandalkan pengalaman inderawi saja bagaimana jika kita ingin melakukan penelitian untuk menemukan suatu invensi baru seperti teknologi. apakah pengalaman inderawi dapat membantu manusia untuk membuat suatu teknologi yang baru? atau mungkin penemuan lain yang bisa berguna untuk kehidupan manusia?


Diskusi
  1. Apakah dalam aliran rasionalisme dan empirisme tidak menganggap ada intuisi?
  2. Apakah dengan mengikuti pengalaman inderawi saja dapat membantu manusia untuk membuat suatu penemuan, misalnya teknologi?