Realisme Hukum
Tanggal : 26 November 2010
Tanggal : 26 November 2010
SUBSTANSI:
Ada 3 faktor yang mendorong pergerakan Realisme Hukum:
- Tahun 1920an masyarakat mulai mengkritik nilai- nilai tradisional
- Munculnya ilmu- ilmu perilaku
- Banyaknya laporan penelitian yang memperlihatkan variasi pendekatan hukum
1. The conception of law in flux, of moving law, and of judicial creation of law
Hukum selalu bergerak (non-momentary), tidak pernah berhenti dalam satu titik.2. The conception of law as means to social ends, and not as an end in itself
Hukum selalu ditujukan pada tujuan tertentu, yaitu untuk tujuan kemasyarakatan.
Hukum selalu ditujukan pada tujuan tertentu, yaitu untuk tujuan kemasyarakatan.
3. The conception of society in flux- faster than law
Masyarakat juga bergerak bahkan lebih cepat dari hukum.
4. The temporary divorce of ‘is’ and ‘ought’ for the purpose of study (mengikuti bayangan positivisme hukum?)
Adanya pemisahan antara hukum yang seharusnya dengan hukum yang senyatanya. Namun pemisahan itu semata-mata hanya untuk diatas kertas saja.
5. Distrust of traditional legal rules and concepts as descriptive of what courts or people actually do
Aliran ini tidak mempercayai konsep hukum tradisional , hanya menganggapnya sesuatu yang deskriptif saja (tradisional teori menganggap undang- undang sbg ancang- ancang saja, tdk menggambarkan masyarakat akan begitu)
6. Distrust of the theory that traditional prescriptive rule formulations are the main factor in producing court decision
ketidakpercayaan terhadap pandangan tradisional yang menyatakan bahwa putusan yang dibuat oleh hakim akan ideal dan dikehendaki Undang-Undang.
7. The belief in grouping cases and legal situations into narrower categories (analisis hukum secara mikro)
Kepercayaan bahwa menganalisis fakta harus dari katagori yang mikro
8. An insistence of evaluating the law in terms of its effects (bersikeras mengevaluasi efek hukum)
kaum realis selalu berusaha mengevaluasi efek hukum, bermanfaat atau tidak bermanfaat.
kaum realis selalu berusaha mengevaluasi efek hukum, bermanfaat atau tidak bermanfaat.
9. An insistence on sustained and programmatic attack on the problems of law
selalu ada desakan yang kuat terhadap permasalahan hukum yang berujung pragmatis.
Terdapat dua varian besar Realisme Hukum, yaitu:
- Amerika, yang terdiri dari:
* Rule-Skeptics (Holmes, Karl Llewellyn)
* Fact-Skeptics (Jerome Frank)
- Skandinavia yang terdiri dari Metaphysic-Skeptics
Realisme Amerika
Rule-Skeptics (Holmes, Karl Llewellyn)
Dasar berpikir Realisme Hukum menurut Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935) adalah “The life of the law has not been logic, it has been experience”, “…Law should be viewed from the stance of the bad man.” Menurut Holmes, hukum menjadi perlu jika ada pelanggaran.
Menurut Karl Llewellyn, aturan jangan dijadikan sebagai pegangan karena aturan bisa ditekuk-tekuk. Putusan tidak bergantung pada aturan, tetapi pada FAKTA. Sumbangan terbesar Llewellyn adalah pandangannya tentang FUNCTIONALISM, yakni mengartikan hukum sebagai mesin yang punya tujuan tertentu. Mesin ini punya beberapa fungsi dasar tertentu (tidak terkait dengan nilai- nilai di dalamnya); fungsi Law-Jobs. Funugsionalisme dari Llewellyn terlihat pada doktrinnya tentang Thrust & Parry (doktrin serangan dan pengelakan).
Jika masyarakat ingin bertahan , maka di bidang hukum ada 6 “law jobs” yang harus dilakukan:
1. Adjustment of trouble cases
1. Adjustment of trouble cases
2. Preventive channeling of conduct and expectations
3. Preventive rechanneling of conduct and expectations to adjust to change
4. Allocation of authority and determination of procedures for authorities
5. Provision of direction and incentive within the group
6. The job of the juristic method
Fact-Skeptics (Jerome Frank)
“for any particular lay person, the law with respect to any particular set of facts, is a decision of a court with respect to those facts so far as decision affects that particular person. Until a court has passed on those facts no law on that subject is yet in existence”.
Menurut Frank, Holmes & Llewellyn hanya Rule Skeptics, seorang realis harusnya Fact Skeptics. Menurut frank, ada penyakit yang bernama APPELLATE COURT-IT IS, dicontohkan, semakin tinggi suatu pengadilan maka semakin miskin realitas meskipun kekuasaannya lebih tinggi.
Perbedaan kedua nya:
Rule-Skepticism > apakah mungkin ada aturan yang berlaku sebagai PREMIS MAYOR?
Fact- Skepticism > apakah mungkin ada kemampuan secara tepat merekonstruksi fakta-fakta sebagai PREMIS MINOR?
Karena:
Rule Skepticism: (Mac Galanter)
-Hukum tidak bekerja seperti bunyi undang- undang
-Konsep “the rule of law” hanyalah retoris; yang berlaku “the rule of ruler”
-The have always comes out ahead
Fact Skepticism:
-Setiap kasus adalah unik. Ada fakta- fakta kemajemukan (Pluralisme) yang harus diperhatikan
-Hukum ditentukan oleh struktur kasus (pendekatan mikro)
-Kemampuan merekonstruksi fakta makin jauh setelah kasus memasuki pengadilan banding tersebut
Realisme Sakndinavia
Untuk memahami hukum, perlu dipelajarai kondisi metafisis masyarakat dalam melihat hukum itu. Secara metafisis hukum, kekuasaan yang menakutkan. Undang- undang tidak memuat tentang kebenaran, melainkan sekedar gagasan yang metafisis.
REFLEKSI:
Realisme hukum menggambarkan suatu konsep hukum yang berbeda dari aliran filsafat hukum lain. Realisme Hukum yang paling up to date. Faktor yang memicu aliran ini adalah adanya gerakan anti kemampanan yang mengkritik nilai tradisional, muncul ilmu baru dan laporan hasil penelitian yang memperlihatkan banyaknya kebobrokan.
Mengenai doktrin Llewellyn mengenai Thrust & Parry, karena disatu sisi merupakan doktrin serangan kemudian ada doktrin pengelakan maka doktrin ini menjadi tidak relevan lagi.
Diskusi :
Apakah jika realisme hukum diterapkan akan menjadi ajaran yang paling mendekati rasa keadilan di masyarakat?